tangerang (GATRANEWS) – Spesialis Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Ph.D. Fahri Bahmid mengatakan hak atas bantuan hukum dari seorang pembela tidak hanya berlaku untuk tersangka atau terdakwa, tetapi juga untuk “saksi dalam penyidikan” dan bahwa “peninjauan dalam proses penyidikan harus dianggap sebagai hak konstitusional” “.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Dewan Pimpinan Nasional (DPN Peradi) Persatuan Advokat Indonesia (DPN Peradi) selaku ahli yang diwakili oleh Ketua Umum Guru Besar. PhD. Otto Hasboan dan Dr. H. Hermansyah Dulaimi adalah Sekretaris Jenderal dan dalam hal ini merupakan pihak terkait dalam sidang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) Perkara No. 61/PUU-XX/2022.
Pernyataan Fahri Bachmid itu disampaikan dalam rapat ke-7 pengujian materi KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (10/102022) di ruang pleno MK yang dihadiri semua pihak. Sidang dipimpin oleh Profesor Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. PhD. H. Anwar Usman
Dalam keterangan resmi yang diterima, Fahri Bachmid mengatakan bahwa untuk itu perlu ditafsirkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Tahun 1981 untuk menjamin persamaan di depan hukum yang diatur dalam UUD. Pasal 28D ayat 1 (UUD 1945) yang melaluinya Mahkamah Konstitusi harus memberikan implikasi konstitusional bersyarat terhadap rumusan norma Pasal 54 KUHAP itu sendiri, guna meneguhkan sesuai dengan Pasal 28D (1) UUD 1945. UUD 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, keamanan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum”.
Pokok pernyataannya, Fahri berpendapat bahwa menjadi saksi adalah kewajiban setiap warga negara, tetapi saksi juga berhak dilindungi oleh ketentuan undang-undang. Namun, tidak semua saksi memahami hukum, juga tidak semua saksi memahami haknya dalam proses peradilan pidana. Saksi masih dianggap objek pemeriksaan, dan hak-haknya sering dilanggar untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam mengungkap kebenaran yang sebenarnya tentang kejahatan.
Oleh karena itu, lanjut Fahri, dalam setiap tahapan proses peradilan, seperti penyidikan, penyidikan, penuntutan, dan peninjauan kembali, saksi membutuhkan bantuan pengacara untuk berkonsultasi dengan hukum ketika mereka dipanggil untuk memberikan pernyataan yang mengungkapkan kebenaran materiil. kejahatan dan perlindungan – situasi di luar prosedur “ekstra-prosedur” yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang, tetapi biasanya selama pemeriksaan saksi, dengan alasan bahwa hak-hak saksi melanggar hukum, yang melarang pemeriksa didampingi oleh pembelaan tunduk pada ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Fahri mengatakan, perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana tidak diatur dalam KUHAP, bahkan perangkat hukum Indonesia, khususnya KUHAP, tidak memberikan perlindungan terhadap saksi. KUHAP tidak mengatur pengaturan bantuan hukum untuk saksi. Tidak ada satupun pasal yang menyebutkan adanya pengaturan bantuan hukum bagi saksi. Pada kenyataannya, hukum pidana materiil dan hukum pidana formil hanya menekankan pada kewajiban saksi dan bukan hak-hak saksi, yang dapat dilihat dari Pasal 224 dan 522 KUHP.
Fahri Bachmid menegaskan bahwa prinsip due process of law melekat pada setiap manusia, yang melindunginya dari tindakan pemerintah yang sewenang-wenang, menindas, dan tidak adil. Jika proses penegakan hukum mengakibatkan pengingkaran terhadap asas keadilan, maka proses hukum dilanggar dan dapat mengakibatkan penghukuman orang yang tidak bersalah. Dalam sistem peradilan pidana, keadilan dilayani jika prosedur yang tepat diikuti atau diikuti. Due process of legal process memegang peranan penting karena membatasi teknik penyidikan dan penyidikan polisi, membatasi tindakan kejaksaan, dan memandu penyelenggaraan peradilan pidana. Due process of law memberikan hak kepada tersangka/terdakwa bahkan saksi untuk diperlakukan secara adil. Proses hukum yang adil mencakup hak untuk didengar, hak untuk membela diri, pengakuan persamaan di depan hukum dan penghormatan terhadap asas praduga tak bersalah.
Fahri menilai, dalam permohonan dalam undang-undang, yang menjadi bahan uji materil adalah Pasal 54 KUHAP Nomor 8 Tahun 1981 yang berbunyi sebagai berikut: “Untuk kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa mempunyai waktu selama pemeriksaan dan setiap tahapan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam undang-undang ini, sebenarnya/sebenarnya menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi pemohon dan pihak terkait serta menimbulkan ketidakpastian hukum. Republik Indonesia 1945, sepanjang tidak diberi makna konstitusional bersyarat yang meliputi kesaksian dan sensor.