tangerang (GATRANEWS) – Pakar hukum tata negara Universitas Udayana Jimmy Usfonan mengatakan, sistem proporsionalitas terbuka dalam pemilihan calon anggota legislatif sedikitnya memunculkan beberapa persoalan yang memicu keresahan sosial, di antaranya banyaknya suara yang tidak sah.
Pada 2019, ada 17.503.953 suara tidak sah dalam pemilu Republik Demokratik, ujarnya. “Akibat fenomena ini, akan timbul sikap apatis masyarakat terhadap pencoblosan pada Pemilu 2024 mendatang karena dikhawatirkan telah menggunakan hak pilihnya namun Surat Suaranya menjadi suara yang terbuang sia-sia.” .
Tak hanya itu, menurutnya, setiap calon menginvestasikan banyak uang, yang akan meningkatkan tensi persaingan bahkan menimbulkan konflik dengan teman-teman di partainya sendiri.
Sebagai contoh, yang terjadi pada tahun 2019 adalah persekusi terhadap sesama calon dalam pemilihan anggota DPR DRP di sebuah daerah pemilihan di provinsi Jawa Timur. Begitu pula persekusi terhadap calon Kabupaten Tanah Bumbu terjadi di dalam satu partai politik.
“Bayangkan saja, jika konflik tersebut melibatkan pendukung, bukankah akan menimbulkan banyak konflik sosial di masyarakat. Walaupun saat ini Indonesia memiliki 514 kabupaten/kota dan 38 provinsi, tentunya hal ini dapat menjadi masalah besar di masa mendatang,” kata Jimmy.
Gejolak sosial lain yang terjadi akibat sistem proporsional terbuka ini adalah caleg yang gagal lebih banyak mengalami depresi, gangguan jiwa bahkan bunuh diri, seperti yang terjadi pada 2019 lalu.
“Selain itu, jumlah uang yang digunakan, asumsinya adalah orang besar yang akan menjadi pemenang. Dan calon lain berani memperebutkan modal. Dengan begitu, biaya politik menjadi sangat tinggi sehingga calon akhirnya rela pergi. berhutang untuk menang,” kata Jimmy. , bahkan menggadaikan rumah dan barang berharga lainnya.
Menurut Jimmy, sebenarnya jika ditelusuri, banyak anggota DPRD kabupaten/kota, anggota DPRD provinsi, bahkan anggota DPR RI yang menggadaikan surat keputusan jabatannya kepada bank setelah pengangkatan. “Hanya berusaha mengidentifikasi anggota DPR dan DPRD, ini dilakukan untuk melunasi utang biaya yang telah dikeluarkan,” imbuhnya.
Soal pemilih, menurut Jimmy, pemilih akan kembali bingung memilih seperti tahun 2019 lalu. Pasalnya, ada lima suara sekaligus, yakni Surat Suara Presiden/Wakil Presiden, Surat Suara Anggota DPR, Surat Suara Anggota DPD, Surat Suara DPRD Provinsi, dan Surat Suara Anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Belum lagi caleg DPR/DPRD/DPRD di setiap surat suara nama calegnya banyak sekali, ujung-ujungnya pemilih tidak menggunakan rasionalitasnya untuk memilih, mungkin hanya melihat foto atau karena populer, kalau pemilih Tidak mungkin nanti mengambil tindakan yang akan membatalkan pemungutan suara,” katanya.