tangerang (GATRANEWS) – Pakar ketatanegaraan Universitas Sebelas Maret (UNS) Dr Agus Riewanto menyoroti dua kelemahan sistem pemilu terbuka atau berbasis kandidat, party-ID dan demokrasi Indonesia Membangun antipartai atau deparliamentarisasi berdampak negatif.
Ia mengatakan, kelemahan tersebut berdasarkan evaluasi pelaksanaan pemilu 2009, 2014, dan 2019 yang menerapkan sistem proporsional terbuka dengan penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.
“Party-ID adalah perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya. Party-ID adalah komponen psikologis yang membantu memantapkan dukungan terhadap partai politik dan sistem kepartaian, sehingga memperkuat demokrasi,” kata Agus di tangerang, Rabu, dalam keterangannya. diterima.
Agus Riewanto kemudian mencontohkan hasil survei nasional yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada Februari 2021, yang menunjukkan bahwa identifikasi masyarakat Indonesia terhadap partai politik rendah.
Data menunjukkan, 92,3 persen dari 1.200 responden yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia menyatakan tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu (Party ID). “Ini menunjukkan sentimen terhadap partai sangat rendah. Kalau sentimen terhadap partai bagus, pemilih merasa terwakili oleh partai,” katanya.
Begitu pula dengan hasil Survei Nasional Litbang Kompas Januari 2022 mengungkap adanya mata rantai yang lemah dalam identitas partai di Indonesia. Dari 1.200 responden di seluruh provinsi di Indonesia, mereka mengatakan 67,3 persen pemilih tidak memiliki identitas partai politik, sementara hanya 23,8 persen yang menyatakan demikian.
Selain melemahnya identitas kepartaian, persoalan kedua yang ditimbulkan oleh terbukanya sistem proporsional adalah munculnya fenomena antipartai atau deparlementer yang berdampak negatif terhadap konstruksi demokrasi Indonesia.
Pilihan pemilih berubah dari satu partai politik ke partai politik lainnya dan dari satu pemilu ke pemilu berikutnya (volatilitas pemilu). Membuat pemilihan menjadi dramatis, dukungan pemilih untuk partai telah menjadi perjalanan roller-coaster.
“Efek buruknya adalah pemilu hanya berdasarkan angka atau caleg (kandidat), sehingga pemilih lebih mempertimbangkan caleg yang populer dan kaya daripada kesamaan identitas partai,” ujarnya.
Sekedar informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini sedang mengkaji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (“Peninjauan Kembali”) tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka. Jika uji materil disetujui Kongres, maka sistem pemilu 2024 akan diubah menjadi sistem proporsional tertutup.