Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menunda pilkada berisiko menimbulkan kerancuan konstitusi

Hukum2 Dilihat
banner 468x60

tangerang (GATRANEWS) – Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Gugatan terhadap KPU diajukan pada Kamis (2/3/2023) oleh Partai Prima pada 8 Desember 2022 dengan nomor registrasi 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.

banner 336x280

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga memerintahkan KPU RI untuk mengulang tahapan pemilu dari awal sehingga menyebabkan pemilu ditunda. Ahli Tata Negara dan Hukum Tata Negara, Universitas Muslim Indonesia, Ph.D. Fahri Bachmid, SH, MH mengamini dan menyoroti keputusan ini.

Menurut Fahri Bachmid, putusan hakim dalam Perkara No 1 sudah sah. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst bersifat “ultra vires” atau dengan kata lain “ultra vires”, sehingga akibat hukum dari status putusan ini tergolong “null” atau “van rechtswege nietig” atau nihil berakhir batal”. Oleh karena itu tidak dapat ditegakkan, yang penting untuk melindungi sistem kerangka hukum pemilu.

Berdasarkan desain ketatanegaraan pemilu saat ini, hal ini didasarkan pada struktur hukum penyelesaian sengketa pemilu berdasarkan UU No.1. 7/2017 Berkaitan dengan pemilu, kerangka penegakannya terbagi menjadi dua jenis, pelanggaran dan sengketa.

Ada tiga jenis pelanggaran dalam undang-undang pemilu: pelanggaran administratif, pelanggaran moral, dan pelanggaran pidana. Pada saat yang sama, perselisihan dibagi menjadi perselisihan proses dan perselisihan hasil.

“Secara teknis, undang-undang pemilu sebenarnya telah membangun jalur hukum untuk menyelesaikan masalah. Jika ada masalah berupa “sengketa”, apakah itu pelanggaran atau sengketa, secara khusus undang-undang pemilu memberikan kewenangan yang berbeda-beda sesuai dengan kewenangannya. kewenangannya, untuk pemilihan umum akan diselenggarakan di Bawaslu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Negeri (PN), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) serta Dewan Etik Penyelenggara Pemilu (DKPP),” Fakhri menerima. di tangerang, Jumat.

Fahri Bachmid berpendapat, menurut Pasal 467(1) Peraturan(1) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bupati atau Bawaslu Kota, penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan kewenangan Bawaslu dan PTUN untuk mengabulkan karena keluarnya Keputusan KPU , Keputusan KPU Provinsi dan permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu hasil keputusan KPU kabupaten atau kota.

Selain itu, Pasal 470(1) KUHP mengatur (1) Sengketa tata cara pemilu melalui Peradilan Tata Usaha Negara meliputi sengketa yang timbul antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi di bidang penyelenggaraan negara pemilihan, Kabupaten dan Kota DPRD, atau kontestan dalam pemilihan partai politik. Atau terhadap bakal calon KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten atau Kota karena diterbitkannya Keputusan KPU, Keputusan KPU Provinsi, dan Keputusan KPU Bupati atau Kota.

Sementara itu, ketentuan ayat (2) mengatur bahwa sengketa proses pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sengketa antara KPU dengan partai politik yang tidak lolos verifikasi karena keputusan KPU. KPU untuk mempublikasikan informasi tentang partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173. tentu.

Fakhri menambahkan, dengan demikian, sifat perkara yang diadili oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebenarnya masuk dalam kategori perkara sengketa yang tentu saja merupakan kewenangan mutlak atau kewenangan PTUN, bukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

“Jadi menurut saya, putusan itu bisa dikatakan ‘non-existent’ karena hakim menempati kekuasaan kehakiman yang lain,” terangnya.

Pandangan Fahri Bahmid, jika putusan pengadilan ini dilaksanakan, akibatnya akan sangat berat, yaitu dapat menimbulkan kekacauan konstitusional, dan kekuasaan pemerintahan, presiden dan legislatif akan kehilangan legitimasinya. Karena pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai dengan agenda konstitusional.

Misalnya Presiden akan berakhir masa jabatannya pada tanggal 20 Oktober 2024, dan tidak ada pemilihan umum yang sah berdasarkan pelantikan Presiden baru yang disahkan oleh rakyat, karena UUD 1945 tidak memberikan jalan keluar jika pemilihan tidak dapat dilaksanakan. diadakan tepat waktu, atau Presiden tidak terpilih. Sesuai dengan agenda pemilu yang telah ditetapkan.

“Ini akan menjadi semacam kebuntuan konstitusional, taruhannya tinggi, taruhannya terlalu tinggi, dan jika Anda mengikuti logika keputusan ini, itu akan menjadi dampak yang cukup serius,” katanya.

Fahri Bachmid berpendapat, idealnya putusan pengadilan negeri tentang perbuatan melawan hukum dalam sengketa perdata (PMH) tidak boleh mempengaruhi siklus dan agenda ketatanegaraan karena sifat putusan perdata yang hanya “mengikat” para pihak dalam rezim yang bersengketa contentiosa” karakter.

Artinya, keputusan PMH tidak bersifat ergo omnes, melainkan mengikat lembaga negara sebagai organ konstitusional yang biasa menjalankan kekuasaan publik, terutama dalam menjalankan agenda konstitusional mengenai rotasi kepemimpinan nasional yaitu Tentunya berdasarkan hukum publik,” jelasnya.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *