Gunakan media sosial dengan bijak dan jejak digital Anda tidak akan hilang

Hukum1 Dilihat
banner 468x60

JAKARTA (GATRANEWS) – Jejak digital tidak bisa dihapus. Peringatan ini nyata. Seberapa cepat seseorang menghapus postingan yang telah diunggah ke media sosial, di mana jejak digitalnya sudah terekam.

banner 336x280

Selain itu, unggahan bisa menjadi bukti pidana atau pidana berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), kecuali disimpan oleh warganet dalam bentuk tangkapan layar.

Baca juga: Jhonny G Plate jadi tersangka, Presiden tetapkan Mahfud MD sebagai Plt.menteri komunikasi dan informasi

Jadi perlu hati-hati, perlu introspeksi, perlu cerdas dalam berinteraksi di media sosial. Jika tidak, mereka bisa bernasib sama dengan Andi Pangerang Hasanuddin atau AP Hasanuddin.

AP Hasanuddin berpendidikan tinggi dan menjadi peneliti di Lembaga Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang secara ilmiah sulit diterima secara rasional dan bisa terlibat dalam tindak pidana SARA atas ujaran kebencian terhadap warga Muhammadiyah.

Di era digital saat ini, bahkan pendidikan tinggi pun tidak menjamin seseorang akan kebal dari jeratan hukum karena mengunggah, memposting, atau men-tweet di media sosial.

Pakar telematika, Roy Suryo, misalnya, terjerat kasus penodaan terkait meme Stupa Candi Borobudur yang wajahnya diedit menjadi Presiden Joko Widodo.

Dia dijerat Pasal 156A KUHP, Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946, dan Pasal 28(2) Pasal 45 UU No 19 Tahun 2016 dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). ).

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) era Presiden SBY itu sembilan bulan penjara.

Selain Roy Suryo dan AP Hasanuddin, masih banyak contoh tokoh masyarakat dan warga masyarakat yang terjerat UU ITE, seperti ancaman Jerinx terhadap Adam Deni. Adam Deni juga merupakan tersangka pencemaran nama baik yang dilaporkan Ahmad Sahroni (Komisi II DPR RI).

Vokalis Dewa 19 Ahmad Dhani juga sempat terjerat karena membuat vlog berisi kata ‘idiot’ saat berencana menghadiri manifesto Silam #2019GantiPresiden di Surabaya pada Agustus 2018 UU ITE. Ayah Al, El dan Dul divonis 1,5 tahun penjara.


patroli jaringan

Bareskrim Polri Brigjen Pol Direktur Cybercrime. Adi Vivid A Bactiar (kiri tengah) didampingi Karopenmas Humas Polri, Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan menyerahkan barang bukti tindak pidana ujaran kebencian yang melibatkan SARA, tersangka AP Hasanuddin, di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (5/1/2023). (GATRANEWS/Riley Ramavati)

AP Hasanuddin mungkin tak menyangka, keletihan dan kekeliruannya menanggapi status yang ditulis rekannya Thomas Djamaluddin di akun Facebooknya pada 21 April 2023 dalam perbincangan panjang membuat gerah warga Muhammadiyah.

Komentar AP Hasanuddin saat mengunggah status Thomas Djamaluddin mempersoalkan ketidaksesuaian antara pemerintah dan Muhammadiyah dalam menentukan Idul Fitri 1444 Hijriah/2023, kata-kata tersebut tidak boleh dipublikasikan oleh kalangan terpelajar yang berprofesi sebagai peneliti.

Artikel tersebut diunggahnya pada pukul 15.30 WIB dari kediamannya di Jombang, Jawa Timur.

“Perlukah saya legalkan semua darah Muhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi oleh PKI melalui agenda Kalender Islam Global Gema Liberation? , saya akan masuk penjara. Saya lelah melihat keluhan Anda,” tulis AP Hasanuddin saat itu.

Sebelum viral dan memicu kemarahan warga Muhammadiyah, polisi melaporkan kejadian tersebut ke Bareskrim Polri dan beberapa Polda, Direktorat Siber Cyber ​​​​Polri (Dittipidsiber) Polri pada 25 April. AP Hasanuddin pertama kali melihat tuduhan ujaran kebencian SARA yang provokatif .

Berdasarkan temuan tersebut, Cyber ​​Patrol memprofilkan pengunggah, kemudian menganalisis konten, jenis pelanggaran, dan kemudian menanyai saksi ahli, yaitu ahli bahasa, ahli ITE, dan ahli hukum pidana. Setelah itu, tim siber mengeluarkan laporan informasi yang akan diteruskan ke penyidik ​​Subdit II Dittipidsiber.

Direktur Cybercrime (Dirtipidsiber) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Menurut Adi Vivid A Bactiar, berdasarkan hasil analisis pakar, konten yang ditulis oleh AP Hasanuddin mengandung unsur kejahatan ujaran kebencian.

Dia melegalkan darah semua anggota Muhammadiyah, menerornya, mengancam akan membunuhnya, yaitu “Saya akan bunuh mereka satu per satu”. Para ahli mengatakan kata-kata membenarkan pertumpahan darah anggota Muhammadiyah dan mengancam akan membunuh mereka satu per satu. Kedua kalimat ini jelas mengandung unsur pidana.

ancaman media sosial

Karena posisinya, AP Hasanuddin tidak hanya berurusan dengan penguasa. Peneliti berusia 30 tahun itu menghadapi kemarahan anggota Muhammadiyah. Maka saat hendak ditangkap di kediamannya di Jombang pada 30 April lalu, peneliti astrologi itu sempat meminta perlindungan polisi.

AP Hasanuddin tidak mau berbicara atau meminta maaf saat Bareskrim Polri dihadirkan ke publik melalui media, Senin (5/1).

Dari pernyataannya kepada penyelidik, dia menulis kalimat ancaman dan kata-kata penuh kebencian sebagai kelalaian, mengutip kelelahan dan agitasi emosional dari diskusi yang panjang dan tak ada habisnya.

Penyidik ​​juga memastikan bahwa tersangka tidak berniat memenuhi ancamannya terhadap anggota Muhammadiyah.

Reza Indragiri Amriel, pakar psikologi forensik, mengingatkan penegak hukum dan masyarakat untuk tidak menganggap remeh ancaman pembunuhan, seperti yang dilakukan peneliti BRIN terhadap warga Muhammadiyah.

Banyak contoh yang bisa dijadikan pelajaran dari kasus-kasus ancaman yang tersebar melalui media sosial, seperti yang pernah terjadi di luar negeri.

Salah satunya, Salvador Ramos, memposting pesan di akun Facebooknya sebelum dia menembak dan membunuh 19 siswa dan dua guru pada Mei 2022: “Saya akan menembak di sebuah sekolah dasar”.

Travis McMichael kemudian juga meninggalkan jejak digital berupa pesan kebencian di kalangan tertentu sebelum menembak orang dari kelompok sosial yang dibencinya.

Ancaman pembunuhan saja tidak bisa dianggap remeh, apalagi jika ancaman tersebut diungkapkan dalam bentuk kejahatan rasial.

cerdas media sosial

Kini, AP Hasanuddin harus dimintai pertanggungjawaban atas kecerobohannya dalam menggunakan media sosial. Ia harus ditahan di Rutan Bareskrim Polri selama proses penyidikan.

AP Hasanuddin adalah tersangka yang dijerat Pasal 45A(2) jo Pasal 28(2) UU ITE, dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara dan denda sebesar Rs 100 crore, dan Pasal 45B jo Pasal 28( 2) UU ITE Pasal 29, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda Rp 750 juta.

Dittipidsiber Bareskrim mengimbau masyarakat agar bijak menggunakan media sosial dalam segala situasi. Kelelahan dan situasi emosional tidak boleh diekspresikan di media digital atau internet.

Semua deskripsi lisan, tulisan, rekaman video, digital, kemudian dipublikasikan dan diunggah, tidak dapat ditarik kembali. Apalagi ketika warganet (netizen) Indonesia lainnya yang terkenal jeli mengabadikan gambar tersebut satu demi satu. Jejak digital tidak akan hilang.

Jadi seseorang harus mengetahui apa yang dikatakan, ditulis dan ditampilkan di media sosial (apakah itu Twitter, Facebook atau Instagram) sebelum mengunggahnya.

Masyarakat perlu diedukasi agar tidak terjerumus pada perilaku kriminal di bawah UU ITE. Kelalaian di media sosial tidak memandang usia atau latar belakang pendidikan. Siapapun bisa tertipu jika tidak berhati-hati, ceroboh, atau bijak saat menggunakan media sosial.

Banyak celah yang dapat merusak masyarakat. Untuk itu, pencegahan perlu didekati dari dua sisi, penggunaan media sosial secara bijaksana oleh masyarakat, dan polisi sebagai aparat penegak hukum.

Dittipidsiber Polri mencoba melakukan kerja preventif dengan mengedukasi masyarakat, seperti yang dilakukan polisi siber di beberapa negara, dengan membuat iklan layanan masyarakat dalam bentuk film pendek, untuk mencegah penipuan cinta.

Untuk tindakan preventif ini, Dittipidsiber melakukan kajian dan mengusahakan wakil direktur yang bertugas mengedukasi masyarakat sebagai langkah preventif.

Intinya detektif tidak hanya bisa memecahkan kejahatan, tapi juga mendidik masyarakat agar tidak terjerat, agar tidak menjadi korban atau pelaku.

Berita ini dimuat di GATRANEWSnews.com dengan judul: Jejak digital yang tidak bisa hilang

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *